spot_img
More
    spot_img

    Wabup Nunukan Beberkan Persoalan Status Lahan ke Kemenhut: Masyarakat Butuh Kepastian Hukum

    WARTA, JAKARTA – Wakil Bupati Nunukan, Hermanus, memanfaatkan momentum keikutsertaannya dalam Rakernas ke-III dan Lokakarya Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (4/10), untuk melakukan pertemuan informal dengan Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Kehutanan RI, Julmansyah.

    Dalam pertemuan itu, Hermanus secara tegas memaparkan persoalan pelik yang masih membayangi masyarakat Nunukan—yakni ketidakjelasan status lahan dan tumpang tindih batas kawasan hutan yang kerap menimbulkan konflik antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan.

    “Kita ingin penyelesaian tata ruang dan peruntukan lahan ini tidak lagi setengah-setengah. Ini menyangkut hidup ratusan masyarakat yang sudah lama bermukim di sekitar kawasan hutan. Mereka butuh kepastian hukum untuk bisa hidup dan bekerja tanpa rasa waswas,” tegas Hermanus.

    Menurutnya, banyak masyarakat di pedalaman dan wilayah perbatasan Nunukan yang secara turun-temurun telah membuka lahan dan membangun permukiman jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan secara formal sebagai kawasan hutan. Namun kini, status hukum lahan itu justru kerap menjadi sumber ketegangan.

    “Mereka tidak bisa membuat sertifikat, tak bisa mengakses bantuan, bahkan takut mengembangkan lahan sendiri karena dianggap berada di kawasan hutan. Ini tidak boleh terus dibiarkan,” ujarnya menambahkan.

    Hermanus menyampaikan bahwa Pemkab Nunukan tengah mempersiapkan langkah konkret menata ulang data spasial wilayah, bekerja sama dengan BPN, Dinas Kehutanan Provinsi Kaltara, dan lembaga teknis terkait. Tujuannya agar tidak lagi terjadi tumpang tindih batas antara kawasan hutan dan lahan masyarakat.

    “Kita ingin semua peta dan data batas wilayah terintegrasi dan diakui secara nasional. Tanpa kejelasan batas, konflik agraria akan terus berulang,” ungkapnya.

    Selain berdampak pada aspek hukum, Hermanus menegaskan bahwa kepastian tata ruang juga menentukan arah pembangunan ekonomi masyarakat, terutama mereka yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan perkebunan rakyat.

    Baca Juga:  Pendaftaran Beasiswa Kaltara Unggul Ditutup 31 Juli, Peminat Meledak Lebihi Kuota!

    Ia berharap Kementerian Kehutanan dan lembaga lintas sektor lainnya dapat melihat persoalan agraria di perbatasan bukan hanya dari sisi administratif, tetapi juga dari dimensi sosial dan kemanusiaan.

    “Di Nunukan, masyarakat adat memiliki ikatan kuat dengan tanah dan hutan. Maka penyelesaian harus dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan, bukan sekadar administratif,” tegasnya.

    Menanggapi hal tersebut, Direktur PKTHA Kementerian Kehutanan RI, Julmansyah, menyambut baik langkah proaktif Pemkab Nunukan. Ia berkomitmen untuk menindaklanjuti laporan tersebut melalui tim penataan ruang di Kementerian Kehutanan.

    “Kami akan menunggu hasil pemetaan dari Pemkab Nunukan. Setelah itu, data lengkap akan dikaji lintas sektor — mulai dari Kementerian Kehutanan, ATR/BPN, PUPR, hingga Kementerian Pertanian. Harapannya, akan lahir satu peta acuan bersama yang diakui semua pihak,” jelas Julmansyah.

    Ia menegaskan, penyelesaian konflik lahan tidak bisa dilakukan parsial, melainkan melalui komitmen bersama antara pemerintah pusat dan daerah dengan dasar data spasial yang akurat dan terintegrasi.

    “Kalau peta dan datanya sudah satu versi, konflik lahan seperti di Nunukan bisa diselesaikan dengan tuntas,” pungkasnya.

    Bagikan:

    BERITA TERKAIT

    REKOMENDASI

    spot_img

    BERITA TERPOPULER

    BERITA TERBARU