WARTA, TANJUNG SELOR — Persatuan Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) menyampaikan aspirasi dan pengaduan terkait penyesuaian Tunjangan Penambahan Penghasilan (TPP) melalui surat resmi ke DPRD Kaltara. Surat bernomor 03/001/PGPPPK-KALTARA/III/2025 itu dilayangkan pada 24 Maret 2025.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kaltara, Denny Harianto, menjelaskan bahwa pemberian TPP disesuaikan dengan kemampuan keuangan masing-masing daerah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019.
“Karena itu, setiap daerah memiliki kebijakan berbeda. Ada yang mampu memberikan TPP, ada yang tidak. Bahkan besaran TPP pun tidak bisa disamaratakan,” ungkap Denny beberapa waktu lalu.
Menurutnya, tuntutan guru PPPK agar TPP disetarakan tidak bisa dipenuhi karena secara regulasi, manajemen antara PNS dan PPPK berbeda.
“Peraturan perundang-undangan yang mengatur PNS dan PPPK itu tidak sama. Maka perlakuannya juga tidak bisa disamakan. Pergub terkait TPP juga akan dievaluasi pemerintah pusat,” jelasnya.
Denny menegaskan, meskipun terjadi penyesuaian, Pemprov Kaltara tetap menganggarkan TPP bagi guru PPPK. Hal ini patut disyukuri karena tidak semua daerah mampu melakukan hal serupa.
“Di Kaltara ini masih tergolong tinggi. Contohnya, di Tarakan TPP untuk guru PPPK sudah nol. Di Nunukan hanya sekitar Rp600 ribu, Bulungan sekitar Rp1 juta, dan Malinau pun tidak lebih tinggi dari provinsi. Setelah evaluasi, TPP di tingkat provinsi kami tetapkan sebesar Rp2,1 juta,” terangnya.
Sebagai perbandingan, Denny menyebut Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki APBD 2025 sebesar Rp27 triliun hanya memberikan TPP sekitar Rp2,5 juta.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa belanja pegawai di Pemprov Kaltara kini telah mencapai 30 persen dari total APBD. Jika lebih dari itu, kondisi anggaran sudah tidak ideal dan akan mengganggu sektor pelayanan publik lainnya.
“Kalau sudah di atas 30 persen, itu artinya APBD kita tidak sehat. Bisa berdampak pada terhambatnya pembangunan infrastruktur, pelayanan dasar, dan kewajiban lainnya,” jelasnya.
Dengan jumlah guru PPPK yang kini mencapai 2.701 orang, Pemprov Kaltara membutuhkan sekitar Rp200 miliar per tahun hanya untuk membayar TPP—belum termasuk gaji. Dan jumlah ini akan terus bertambah seiring masuknya tenaga PPPK baru.
Dalam hal penghitungan TPP, Denny menambahkan bahwa bagi PNS perhitungannya sudah jelas berdasarkan kelas jabatan. Sementara untuk PPPK, penetapan mengacu pada rekomendasi Kemendagri, yang mempertimbangkan jenjang pendidikan, golongan, serta zonasi.
“Misalnya guru yang mengajar di daerah terpencil akan menerima TPP berbeda dengan yang mengajar di kota, karena ada pertimbangan biaya hidup, risiko, dan lokasi kerja. Jadi, tidak bisa disamakan dengan PNS,” pungkasnya.(*)