WARTA, JAKARTA — Mobil dengan harga di bawah Rp 400 juta yang sudah menjadi kebutuhan harian masyarakat, nyatanya masih dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Padahal, kendaraan jenis ini sudah jauh dari kategori barang mewah dan lebih tepat disebut sebagai alat transportasi esensial.
Aturan ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.010/2021, yang masih mengklasifikasikan mobil sebagai barang mewah, meskipun harganya terjangkau dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk bekerja.
Kondisi ini memicu kritik dari kalangan industri otomotif. Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, secara terbuka mempertanyakan keadilan kebijakan tersebut.
“Masih layakkah mobil dikenai PPnBM? Mobil dianggap barang mewah, tapi sepatu dan tas bermerek yang harganya ratusan juta hanya bayar pajak sekali. Mobil justru dikenai pajak setiap tahun, belum lagi pajak progresif dan lainnya,” ujarnya dalam sebuah diskusi industri otomotif, dikutip Detikoto
Ilustrasi Pajak: Avanza Kena Hampir Rp30 Juta Pajak Mewah
Sebagai contoh, Toyota Avanza 1.3 E M/T—yang harganya di pasaran di bawah Rp300 juta masih terkena pajak mewah. Berdasarkan Permendagri No. 7 Tahun 2025, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) ditetapkan sebesar Rp 198.450.000. Dengan tarif PPnBM 15%, jumlah yang harus dibayar hanya untuk pajak mewah saja mencapai:
-
15% × Rp 198.450.000 = Rp 29.767.500
Angka ini belum termasuk kewajiban pajak lainnya yang ditanggung pemilik kendaraan, antara lain:
-
PKB (Pajak Kendaraan Bermotor): 2–6% tergantung provinsi
-
BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor): 12,5% di Jakarta
-
Opsen pajak daerah: Bisa mencapai hingga 66% di beberapa wilayah
Saatnya Evaluasi Definisi “Barang Mewah”?
Gaikindo menilai perlu ada pembaruan dalam cara pemerintah memandang mobil pribadi. Di tengah kebutuhan mobilitas yang tinggi dan masih minimnya transportasi umum di banyak daerah, mobil sudah menjadi kebutuhan primer.
“Kalau tidak dievaluasi, masyarakat kelas menengah ke bawah akan terus terbebani. Pajaknya tinggi, sementara mobil sudah jadi sarana pokok untuk bekerja,” kata Kukuh.
Dengan suara yang semakin nyaring dari industri, kini bola ada di tangan pemerintah. Akankah klasifikasi usang tentang “mobil sebagai barang mewah” segera diperbarui?