WARTA, JAKARTA — Baru empat bulan berjalan, kuota rumah subsidi tahun 2025 melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sudah habis. Dari target awal 220.000 unit, seluruh kuota telah terserap. Pemerintah pun segera merespons dengan rencana penambahan kuota menjadi 420.000 unit.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, mengatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya percepatan penyediaan hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Harapannya, penambahan kuota FLPP bisa direalisasikan pada pertengahan tahun ini,” ujar Maruarar, Selasa (22/4/2025).
Namun, jika kuota tambahan terealisasi, angka tersebut baru mencakup sekitar 5% hingga 7% dari target ambisius program 3 juta rumah. Sementara itu, 1 juta unit di antaranya yang ditujukan untuk kawasan pedesaan masih belum dikerjakan secara menyeluruh.
Pengembang: Perjelas Aturan dan Kriteria!
Di tengah lonjakan kebutuhan dan keterbatasan kuota, para pengembang meminta kejelasan lebih rinci dari pemerintah terkait sejumlah aspek krusial. Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Joko Suranto, menyoroti pentingnya penentuan kriteria teknis dan administratif dalam pelaksanaan program ini.
“Kami butuh kepastian soal siapa yang berhak menerima, lokasi yang diperbolehkan, kriteria lahan, hingga standar spesifikasi rumah dan pembiayaannya,” tegas Joko.
Tantangan di Pedesaan
Pembangunan rumah subsidi di wilayah pedesaan menghadapi tantangan tersendiri. Salah satunya adalah persoalan legalitas tanah, yang menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan akses kredit perumahan. Oleh karena itu, REI mendorong Kementerian ATR/BPN mempercepat program sertifikasi tanah agar masyarakat menjadi lebih “bankable”.
Tak hanya itu, pengembang juga mendesak adanya kebijakan khusus soal perizinan bangunan di desa, penyesuaian tata ruang, hingga skema pembiayaan perbankan yang lebih adaptif.
“Kami harap ada kebijakan khusus soal perizinan di pedesaan agar pengembangan rumah subsidi bisa dilakukan lebih cepat dan efisien,” lanjutnya.
Skema Baru: Cicilan Hanya 20 Persen!
Sebagai bagian dari solusi, pemerintah merancang skema pembiayaan baru untuk rumah subsidi di desa. Nantinya, 80 persen dari cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akan disubsidi oleh pemerintah—rencananya melalui pengalihan anggaran subsidi BBM agar lebih tepat sasaran.
Dengan asumsi harga rumah Rp80 juta hingga Rp100 juta per unit dan cicilan sebesar Rp800 ribu per bulan, masyarakat desa cukup membayar sekitar Rp160 ribu saja tiap bulan.
Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, maka bukan hanya hunian terjangkau yang tersedia, tetapi juga akses pembiayaan yang lebih manusiawi bagi masyarakat pedesaan.