WARTA, JAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, secara tegas melarang seluruh perguruan tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) untuk memberikan gelar profesor kehormatan kepada siapa pun.
Larangan ini ia sampaikan dalam sambutan acara pengukuhan Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Jebul Suroso, sebagai Guru Besar Bidang Manajemen Keperawatan di Auditorium Ukhuwah Islamiyah, Banyumas, Jawa Tengah.
“Pesan kami dari PP Muhammadiyah, PTMA jangan ikut-ikutan memberi gelar profesor kehormatan. Sebab profesor itu bukan simbol, tapi jabatan akademik yang melekat pada profesi dan institusinya,” tegas Haedar.
Meskipun belum ada surat keputusan resmi, Haedar menegaskan bahwa larangan ini merupakan perintah langsung dari Ketua Umum PP Muhammadiyah dan harus dianggap sebagai arahan yang mengikat demi menjaga martabat dan kekuatan akademik PTMA.
Fokus pada Kualitas, Bukan Gelar Seremonial
Haedar menyebutkan bahwa hingga saat ini PTMA telah melahirkan 431 profesor, dan pencapaian itu harus membawa dampak nyata terhadap kualitas pendidikan dan kontribusi sosial perguruan tinggi Muhammadiyah.
“Bertambahnya guru besar harus sejalan dengan peningkatan kualitas catur dharma perguruan tinggi dan peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya.
Ia juga memaparkan perkembangan PTMA yang kini memiliki 20 fakultas kedokteran, di mana 14 di antaranya sudah terakreditasi unggul. Bahkan untuk PTMA di luar Jawa, yang belum terakreditasi unggul tetap diberi kesempatan membuka fakultas kedokteran dengan pertimbangan pemerataan akses pendidikan medis.
Muhammadiyah Didorong Kejar Standar Global
Dalam kesempatan itu, Haedar turut menyoroti pentingnya PTMA mengejar peringkat universitas dunia. Ia menilai, meski di dalam negeri institusi-institusi pendidikan tinggi terlihat besar, secara global masih tertinggal jauh.
“Universitas Indonesia saja masih di peringkat 206 dunia. PTMA ada di kisaran peringkat 1.200-an. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah punya tiga kampus masuk 200 besar dunia, bahkan Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah juga mulai merangkak naik,” katanya.
Haedar mengingatkan bahwa standar internasional bukan hanya soal reputasi, tapi juga menyangkut kualitas pengajaran, riset, inovasi, dan kontribusi terhadap pembangunan peradaban global.
“Kalau kita mau menjadi bagian dari percaturan dunia, maka kerja keras untuk memenuhi standar internasional adalah keniscayaan,” tutup Haedar.